Selasa, 22 November 2011

Korupsi

Korupsi adalah : tingkah laku yang menyimpang dari tugas – tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan – aturan pelaksana beberapa tingkah laku pribadi.

Kwik Kian Gie akhirnya meminta maaf kepada Dirjen Pajak. Di sebuah koran nasional, Kwik menyatakan permintaan maafnya. Permintaan maaf itu menyusul somasi Dirjen Pajak agar Kwik membuktikan artikel yang ditulisnya di koran yang sama, bahwa sekitar Rp. 140 triliun pajak hilang dikorupsi.

Setelah Kwik, giliran Faisal Basri yang diminta memberikan data. Seperti Kwik, Faisal juga menyatakan korupsi besar-besaran dalam perpajakan. Faisal memperkirakan Rp. 40 triliun pendapatan negara dari pajak dikorupsi. Walaupun perkiraannya tidak sebesar Kwik, tetapi angka itu sangat besar. Lebih 15% dari total pengeluaran pemerintah pada APBN 2005.

Meskipun perhitungan dua ekonom menghasilkan angka yang berbeda, soal korupsi di perpajakan orang sudah mengetahui. Bahkan sudah menjadi rahasia umum. Salah satu indikasi adanya korupsi pajak dapat dilihat pada sejumlah survey yang telah dilakukan.

Survey Indeks Persepsi Penyuapan (Bribery Perception Index) yang dirilis oleh Transparency International Indonesia 2005 menempatkan Dirjen Pajak sebagai institusi yang paling banyak menerima suap setelah Bea Cukai. Sebelumnya, pada survey barometer korupsi global 2004 yang dikeluarkan oleh Transparency International, pajak menempati peringkat ke-6 lembaga terkorup di Indonesia. Tahun 2001, Partnership for Governance Reform juga melakukan survey serupa. Survey Nasional mengenai korupsi itu menempatkan Dirjen Pajak di urutan ke 5 sebagai institusi terkorup di Indonesia.

Dari berbagai survey dan indeks perbandingan korupsi, yang terungkap adalah persepsi masyarakat. Persepsi memang bukan realitas. Tetapi persepsi tersebut menggambarkan realitas. Apalagi yang menjadi responden survey – terutama yang diselenggarakan oleh Transparency Internasional – adalah para pebisnis yang dianggap sebagai pelaku dalam berbagai praktek penyuapan. Karena itu, agak sulit membantah survey-survey di atas yang menempatkan Kantor Pajak sebagai salah satu institusi terkorup. Pun ketika Dirjen Pajak mengumumkan telah mengeluarkan peringatan kepada 300 aparatnya setiap tahun dan 30 diantaranya dipecat dengan tidak hormat. Tidak otomatis menghapus citra korup di dinas yang menjadi andalan pendapatan negara itu.

Pola-pola korupsi
Lalu bagaimana korupsi pajak dilakukan? Tahun 2001, Indonesia Corruption Watch melakukan studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak. Menggunakan terminologi korupsi Syed Husein Alatas (lihat SH Alatas, “Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi”, 1987), ada tiga pola korupsi pajak.

Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif karena menguntungkan pegawai pajak dan personalia Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapatkan uang suap, sementara pegawai mengincar kantor pajak yang “basah” atau menghindari penempatan di daerah terpencil.

Pola ini juga menjadi mekanisme untuk mempertahankan budaya korupsi di perpajakan. Pegawai baru di Dirjen Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktek korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak masalah, sepanjang mereka tidak bicara. Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai yang jujur bisa dimutasi di daerah terpencil.

Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif merujuk pada praktek pemerasan. Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekedar contoh, untuk mengurus NPWP membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat.

Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan. Baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapatkan pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara petugas pajak mendapatkan komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.

Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak “diperas” oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu, tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas.

Pola ketiga ini yang diungkapkan oleh Kwik Kian Gie maupun Faisal Basri. Menggunakan estimasi ekonomi, kedua pengamat ekonomi itu memperkirakan negosiasi pajak merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Membongkar korupsi pajak
Pola korupsi transaktif yang saling menguntungkan di sektor pajak sulit untuk dibongkar. Kecuali pembuktian terbalik diterapkan sepenuhnya. Sayangnya, perangkat hukum kita belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik. UU No.31/1999 juncto UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya menerapkan pembuktian terbalik secara terbatas. Pembuktian terbalik menjadi hak terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian masih ada pada Kejaksaan sebagai penuntut umum. Karena itu, usulan menerapkan pembuktian terbalik sulit dilakukan karena harus mengubah UU anti-korupsi terlebih dahulu.

Salah satu terobosan yang bisa dipergunakan adalah memberikan perlindungan terhadap saksi. Memang UU Perlindungan Saksi belum disahkan. Tetapi Dirjen Pajak bisa membuat terobosan. Dirjen Pajak bisa memberikan perlindungan kepada pelapor yang bisa memberikan informasi petugas pajak yang nakal. Atas informasinya, wajib pajak tidak akan mendapat sanksi, baik pidana maupun denda.

Pada dasarnya, cukup banyak wajib pajak yang bersedia membayar pajak kepada negara. Dengan perlindungan bagi saksi-pelapor, Dirjen Pajak bisa menindak para petugas pajak yang korup. Dan langkah ini jauh lebih murah dan efisien untuk membersihkan citra daripada menuntut ekonom seperti Faisal Basri di pengadilan.
Danang
Koran Tempo, 15 April 2005

Rabu, 09 November 2011

PT Gunung Gahapi Sakti Buang Limbah B3 ke Sungai Deli Dituding Beckup Perusahaan Tanpa IPAL

Ahad, 20 Maret 2011 | 21:34:25
Halo | Medan,Kinerja Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Medan dinilai sangat buruk. Bahkan, Kepala BLH Ir Punama Dewi beserta stafnya dituding `membeckup` para pemilik perusahaan sehingga bebas beroperasi tanpa memiliki pengolahan limbah yang benar. Untuk itu, diminta kepada Walikota Medan Drs Rahudman Harahap untuk segera mengevaluasi kinerja pejabat di SKPD tersebut.

“Untuk memperbaiki lingkungan bebas dari limbah perusahaan, salah satunya, iya copot Kepala BLH dan beberapa stafnya. Karena mereka lah selama ini melindungi perusahaan yang tidak memiliki Istalasi Pengelolaan Analisis Lingkungan (IPAL). Temuan kita cukup banyak, perusahaan di Medan bebas membuang limbah sembarangan ke pemukiman warga”, ujar anggota komisi B DPRD Medan T Bahrumsyah didampingi Ainal Mardiyah kepada wartawan , kemarin, usai meninjau PT Gunung Gahapi Sakti yang terbukti puluhan tahun beroperasi dan membuang limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) secara bypass ke sungai Deli.

Desakan Bahrumsyah meminta Walikota segera mengevaluasi kinerja pejabat di SKPD BLH cukup beralasan. Dikatakan politisi PAN ini, hasil temuannya di PT Gunung Gahapi Sakti, terbukti perusahaan peleburan besi ini sudah puluhan tahun membuang limbah sludge (sisa limbah padat) ke sungai Deli namun tidak ada tindakan BLH. “Temuan seperti ini sudah banyak, Ini yang ke sekian kali, pemilik perusahaan terkesan selalu berlindung sama BLH sehingga tidak peduli dengan pengolahan limbah”, papar Bahrumsyah.

Sama halnya anggota komisi B dari Partai Golkar Ainal Mardiah, sangat menyayangkan pihak perusahaan yang selama puluhan tahun membuang limbah secara bypass ke sungai Deli.”Ini tidak boleh dibiarkan, sama halnya meracuni puluhan ribu warga Belawan yang mengunakan sungai Deli untuk cuci dan mandi. Tindakan ini sangat bertolak belakang dengan kebijakan Walikota Medan yang saat sedang gencarnya mensosialisasikan pentingnya kebersihan lingkungan”, ujarnya.

Untuk kasus ini, Bahrumsyah dan Ainal sepakat agar pemilik perusahaan dikenakan sangksi pidana sesuai aturan. Bahkan kepada pejabat BLH, Walikota diminta supaya melakukan tindakan karena dinilai lalai dengan tugasnya bahkan “main mata “ dengan pemilik perusahaan.

Dalam kunjungan komisi B DPRD Medan ini, juga ikut, Khairuddin Salim, Paulus Sinulingga, Syamsul Bahri, Dianto dan Srijati Pohan. Mereka diterima pihak perusahaan Gimin Tanno. Setelah pertemuan, komisi B meninjau lokasi pengolahan limbah. Sementar Gimin Tanno mengaku jika Pemko Medan tidak pernah mempermasalahkan pembuangan limbah cairnya

kasus tentang kecurangan - kecurangan perusahaan

NGAMPRAH, (PRLM).-Seratus anggota LSM Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Penjara) berunjuk rasa di depan PT. Sarana Makin Mulia (SMM), Jalan Raya Cimareme Padalrang Kab Bandung Barat, Rabu (18/3). Mereka menuntut tanggung jawab perusahaan yang disinyalir telah membuang sembarangan limbah ke sawah warga.

Hal itu mengemuka dalam orasi yang disampaikan Ketua Umum LSM Penjara, Ahmad Facrie. Menurut dia kegiatan tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun. Sayangnya tidak ada tindakan tegas dari pemerintah yang menangani masalah IPAL.

"Saya sudah meminta konfirmasi perusahaan tapi tidak ada jawaban apapun. Kasihan sawah warga di Kampung Pangkalan Desa Cipeundeuy Kec Padalarang menjadi korban dari aliran pipa limbah sepanjang 2,5 km itu," katanya.

Pada aksi tersebut, massa sempat merangsek ke gerbang utama. Mereka ingin melihat proses mekanisme pembuangan limbah pencelupan tekstil tersebut. Namun, hal itu tidak berhasil karena pengamanan yang ketat. Perusahaan hanya menerima Ahmad dan beberapa rekannya. Mereka tidak berhasil menemui manajemen perusahaan tersebut. Dalam pertemuan kedua belah pihak tersebut diwakilkan pada bagian HRD, Niko.

"Saya menjalankan aturan, jadi saya tidak memberikan ijin untuk memasuki wilayah kami karena bukan kewenangan saya," Ungakap Niko.

Menanggapi respon tersebut, massa kecewa dan kembali berorasi di luar pabrik. Setelah unjuk rasa tersebut, massa bergerak ke Kejati Bandung untuk mengadukan hal tersebut

Senin, 07 November 2011

keadilan

Dalam kaitan dengan keterlibatan sosial, tanggung jawab sosial perusahaan berkaitan langsung dengan penciptaan atau perbaikan kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera dan merata. Tidak hanya dalam pengertian bahwa terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis, melainkan juga dalam pengertian bahwa sejauh prinsip keadilan dijalankan akan lahir wajah bisnis yang lebih baik dan etis. Tidak mengherankan bahwa hingga sekarang keadilan selalu menjadi salah satu topic penting dalam etika bisnis.

a. Teori keadilan Aristoteles Atas pengaruh Aristoteles secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga :

1. Keadilan Legal

Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara dihadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. Keadilan Komutatif

Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yan lain atau antara warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga yang lain. Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman, memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang.

3. Keadilan Distributif

Prinsip dasar keadilan distributif yang dikenal sebagai keadilan ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Keadilan distributif punya relevansi dalam dunia bisnis, khususnya dalam perusahaan. Berdasarkan prinsip keadilan ala Aristoteles, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas, dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah. Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua peni laian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.

b. Teori Keadilan Adam Smith

Pada teori keadilan Aristoteles, Adam Smith hanya menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan komutatif. Alasannya, yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.

1. Prinsip No Harm

Prinsip keadilan komutatif menurut Adam Smith adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Pertama, keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap anggota masyarakat.

2. Prinsip Non-Intervention

Disamping prinsip no harm, juga terdapat prinsip no intervention atau tidak ikut campur dan prinsip perdagangan yang adil dalam kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain.campur tangan dalam bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang tertentu yang merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi ketidakadilan.

3. Prinsip Keadilan Tukar

Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga komponen biaya produksi berupa upah buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang didalam pasar. c. Keadilan sosial ala John Rawls John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberika manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung. Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

d. Prinsip Keadilan Distributif Rawls

Rawls merumuskan dua prinsip keadilan distributif, sebagai berikut:

a. the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip the greatest equal principle, menurut penulis, tidak lain adalah ”prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang (i.c. para kontraktan). Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak.

b. ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau prinsip berikut: (1) the different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity. Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (Prinsip Perbedaan Obyektif). Prinsip kedua, yaitu “the different principle” dan ”the principle of (fair) equality of opportunity”, menurut penulis merupakan “prinsip perbedaan obyektif”, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness (redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azas proprosionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa prinsip (1) yaitu the greatest equal principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip (2) apabila keduanya berkonflik. Sedang prinsip (2), bagian b yaitu the principle of (fair) equality of opportunity harus lebih diprioritaskan dari bagian a yaitu the different principle. Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung. “The different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal benefits), misalnya, seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil. Disini keadilan sebagai fairness sangat menekankan azas resiprositas, namun bukan berarti sekedar ”simply reciprocity”, dimana distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaaan obyektif di antara anggota masyarakat. Oleh karenanya, agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula. Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan keadilan dalam kontrak, maka berdasarkan pikiran-pikiran tersebut di atas kita tidak boleh terpaku pada pembedaan keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi – kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual. Memahami keadilan dalam kontrak tidak boleh membawa kita kepada sikap monistic (paham tunggal), namun lebih dari itu harus bersikap komprehensif. Dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan antara person, termasuk kontrak, hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif didalamnya terkandung pula makna distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep distribusi-proporsional yang terkandung didalamnya dapat ditarik ke perspektif hubungan kontraktual para pihak.

e. Jalan Keluar atas Masalah Ketimpangan Ekonomi

Jalan keluar untuk memecahkan persoalan perbedaan dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang antara lain disebabkan oleh pasar adalah bahwa disamping menjamin kebebasan yang sama bagi semua, negara dituntut untuk mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk membantu memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi kelompok yang secara objektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri. Langkah atau kebijaksanaan khusus ini memang hanya dimaksudkan untuk kelompok yang memang atas kemampuan mereka sendiri tidak bisa memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi mereka. Jadi jalan keluar yang diajukan atas ketimpangan ekonomi adalah dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif pemerintah yang khusus ditujukan untuk membantu kelompok yang secara objektif tidak mampu memanfaatkan peluang pasar secara maksimal.

contoh keadilan :

Keadilan terhadap Pesaing
Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya pesaing kita akan terhambat dalam melakukan kegiatan bisnis. Tapi disisi lain dengan adanya pesaing perusahaan kita akan tumbuh menjadi perusahaan yang kreatif dan selalu menciptakan inovasi agar menang dalam persaingan merebut pelanggan.

Persaingan adalah “adrenalin” -nya bisnis. Ia menghasilkan dunia usaha yang dinamis dan terus berusaha menghasilkan yang terbaik. Namun persaingan haruslah adil dengan aturan-aturan yang jelas dan berlaku bagi semua orang. Memenangkan persaingan bukan berarti mematikan saingan atau pesaing. Dengan demikian persaingan harus diatur agar selalu ada, dan dilakukan di antara kekuatan-kekuatan yang kurang lebih seimbang.

Selasa, 01 November 2011

konflik etika bisnis

Kecewa dengan Bank Mandiri
Dian Rianwati - detikBandung

Saya adalah nasabah Bank Mandiri sejak tahun 2003. Sayangnya Bank yang memiliki slogan "Terdepan, Terpercaya, Tumbuh bersama anda", justru membuat saya tidak percaya lagi untuk melakukan transaksi keuangan. ( wwn / wwn )

Komentar saya :
Kalau menurut saya,hal seperti itu adalah kesalahan oknumnya.dimana, berarti karyawan yg bekerja disitu tidak menjalankan nilai budaya dan jiwa utk melayani yg selalu diterapkan oleh bank tersebut.saya mengerti kekecewaan yg dihadapi,sayapun pernah kecewa dgn layanan perbankan,namun pd saat itu saya lgsg melaporkan ke kepala cabang sehingga oknum trsbt lgsg diberi surat teguran.sikepala cabang lgsg menghandle sndiri keluhan yg saya hadapi.jd tidak perlu kapok utk percaya dengan bank.krn sebagian besar pelayanan bank2 diindonesia ini cukup baik dan ramah.kalaupun ada terjadi hal2 yg tidak berkenan,itu mgkn hanyalah kslhn oknum2nya.bank tsb tdk akan mau mengecewakan nasabahnya.