Selasa, 22 November 2011

Korupsi

Korupsi adalah : tingkah laku yang menyimpang dari tugas – tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan – aturan pelaksana beberapa tingkah laku pribadi.

Kwik Kian Gie akhirnya meminta maaf kepada Dirjen Pajak. Di sebuah koran nasional, Kwik menyatakan permintaan maafnya. Permintaan maaf itu menyusul somasi Dirjen Pajak agar Kwik membuktikan artikel yang ditulisnya di koran yang sama, bahwa sekitar Rp. 140 triliun pajak hilang dikorupsi.

Setelah Kwik, giliran Faisal Basri yang diminta memberikan data. Seperti Kwik, Faisal juga menyatakan korupsi besar-besaran dalam perpajakan. Faisal memperkirakan Rp. 40 triliun pendapatan negara dari pajak dikorupsi. Walaupun perkiraannya tidak sebesar Kwik, tetapi angka itu sangat besar. Lebih 15% dari total pengeluaran pemerintah pada APBN 2005.

Meskipun perhitungan dua ekonom menghasilkan angka yang berbeda, soal korupsi di perpajakan orang sudah mengetahui. Bahkan sudah menjadi rahasia umum. Salah satu indikasi adanya korupsi pajak dapat dilihat pada sejumlah survey yang telah dilakukan.

Survey Indeks Persepsi Penyuapan (Bribery Perception Index) yang dirilis oleh Transparency International Indonesia 2005 menempatkan Dirjen Pajak sebagai institusi yang paling banyak menerima suap setelah Bea Cukai. Sebelumnya, pada survey barometer korupsi global 2004 yang dikeluarkan oleh Transparency International, pajak menempati peringkat ke-6 lembaga terkorup di Indonesia. Tahun 2001, Partnership for Governance Reform juga melakukan survey serupa. Survey Nasional mengenai korupsi itu menempatkan Dirjen Pajak di urutan ke 5 sebagai institusi terkorup di Indonesia.

Dari berbagai survey dan indeks perbandingan korupsi, yang terungkap adalah persepsi masyarakat. Persepsi memang bukan realitas. Tetapi persepsi tersebut menggambarkan realitas. Apalagi yang menjadi responden survey – terutama yang diselenggarakan oleh Transparency Internasional – adalah para pebisnis yang dianggap sebagai pelaku dalam berbagai praktek penyuapan. Karena itu, agak sulit membantah survey-survey di atas yang menempatkan Kantor Pajak sebagai salah satu institusi terkorup. Pun ketika Dirjen Pajak mengumumkan telah mengeluarkan peringatan kepada 300 aparatnya setiap tahun dan 30 diantaranya dipecat dengan tidak hormat. Tidak otomatis menghapus citra korup di dinas yang menjadi andalan pendapatan negara itu.

Pola-pola korupsi
Lalu bagaimana korupsi pajak dilakukan? Tahun 2001, Indonesia Corruption Watch melakukan studi kualitatif terhadap pola-pola korupsi di sektor pajak. Menggunakan terminologi korupsi Syed Husein Alatas (lihat SH Alatas, “Korupsi: Sebab, Sifat dan Fungsi”, 1987), ada tiga pola korupsi pajak.

Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif karena menguntungkan pegawai pajak dan personalia Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapatkan uang suap, sementara pegawai mengincar kantor pajak yang “basah” atau menghindari penempatan di daerah terpencil.

Pola ini juga menjadi mekanisme untuk mempertahankan budaya korupsi di perpajakan. Pegawai baru di Dirjen Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktek korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak masalah, sepanjang mereka tidak bicara. Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai yang jujur bisa dimutasi di daerah terpencil.

Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan oleh petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif merujuk pada praktek pemerasan. Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekedar contoh, untuk mengurus NPWP membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat.

Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan. Baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapatkan pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara petugas pajak mendapatkan komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.

Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak “diperas” oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu, tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas.

Pola ketiga ini yang diungkapkan oleh Kwik Kian Gie maupun Faisal Basri. Menggunakan estimasi ekonomi, kedua pengamat ekonomi itu memperkirakan negosiasi pajak merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Membongkar korupsi pajak
Pola korupsi transaktif yang saling menguntungkan di sektor pajak sulit untuk dibongkar. Kecuali pembuktian terbalik diterapkan sepenuhnya. Sayangnya, perangkat hukum kita belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik. UU No.31/1999 juncto UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya menerapkan pembuktian terbalik secara terbatas. Pembuktian terbalik menjadi hak terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian masih ada pada Kejaksaan sebagai penuntut umum. Karena itu, usulan menerapkan pembuktian terbalik sulit dilakukan karena harus mengubah UU anti-korupsi terlebih dahulu.

Salah satu terobosan yang bisa dipergunakan adalah memberikan perlindungan terhadap saksi. Memang UU Perlindungan Saksi belum disahkan. Tetapi Dirjen Pajak bisa membuat terobosan. Dirjen Pajak bisa memberikan perlindungan kepada pelapor yang bisa memberikan informasi petugas pajak yang nakal. Atas informasinya, wajib pajak tidak akan mendapat sanksi, baik pidana maupun denda.

Pada dasarnya, cukup banyak wajib pajak yang bersedia membayar pajak kepada negara. Dengan perlindungan bagi saksi-pelapor, Dirjen Pajak bisa menindak para petugas pajak yang korup. Dan langkah ini jauh lebih murah dan efisien untuk membersihkan citra daripada menuntut ekonom seperti Faisal Basri di pengadilan.
Danang
Koran Tempo, 15 April 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar