Sabtu, 22 Oktober 2011

Apa yang dimaksud dengan CSR?

APA ITU CSR? PENGERTIAN CSR Corporate Social Responsibilty

Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.

Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?

CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dapat didefinisikan sebagai "ekonomi, harapan hukum, etika, dan discretionary bahwa masyarakat memiliki organisasi pada suatu titik waktu tertentu" (Carroll dan Buchholtz 2003, h. 36). Konsep tanggung jawab sosial perusahaan berarti bahwa organisasi memiliki moral, tanggung jawab etis, dan filantropis di samping tanggung jawab mereka untuk mendapatkan kembali yang adil bagi para investor dan mematuhi hukum. Pandangan tradisional dari korporasi menunjukkan bahwa primer, jika tidak sendiri, tanggung jawab adalah untuk pemiliknya, atau pemegang saham. Namun, CSR memerlukan organisasi untuk mengadopsi pandangan yang lebih luas dari tanggung jawabnya yang meliputi tidak hanya pemegang saham, tetapi konstituen lain juga, termasuk karyawan, pemasok, pelanggan, komunitas lokal, lokal, negara, dan pemerintah federal, kelompok lingkungan, dan lainnya kelompok kepentingan khusus. Secara kolektif, berbagai kelompok dipengaruhi oleh tindakan dari suatu organisasi disebut "stakeholder." Konsep stakeholder dibahas lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah berkaitan dengan, tetapi tidak identik dengan, etika bisnis. Sementara CSR meliputi, tanggung jawab ekonomi hukum, etika, dan discretionary organisasi, bisnis etika biasanya berfokus pada penilaian moral dan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi. Dengan demikian, studi tentang etika bisnis dapat dianggap sebagai komponen dari studi yang lebih besar dari tanggung jawab sosial perusahaan.

Empat bagian definisi Carroll dan Buchholtz dari CSR secara eksplisit sifat multi-faceted tanggung jawab sosial. Tanggung jawab ekonomi dikutip dalam definisi mengacu pada harapan masyarakat bahwa organisasi akan menghasilkan yang baik dan layanan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggan dan menjual barang-barang dan jasa pada harga yang wajar. Organisasi diharapkan akan efisien, menguntungkan, dan untuk menjaga kepentingan pemegang saham dalam pikiran. Tanggung jawab hukum berkaitan dengan harapan bahwa organisasi akan mematuhi hukum-hukum yang ditetapkan oleh masyarakat untuk mengatur persaingan di pasar. Organisasi memiliki ribuan tanggung jawab hukum yang mengatur hampir setiap aspek dari operasi mereka, termasuk hukum konsumen dan produk, hukum lingkungan, dan hukum ketenagakerjaan. Tanggung jawab etis keprihatinan harapan masyarakat yang melampaui hukum, seperti harapan bahwa organisasi akan melakukan urusan mereka dengan cara yang adil. Ini berarti bahwa organisasi diharapkan untuk melakukan lebih dari sekedar mematuhi hukum, tetapi juga melakukan upaya proaktif untuk mengantisipasi dan memenuhi norma-norma masyarakat bahkan jika mereka tidak secara resmi norma yang berlaku di hukum. Akhirnya, tanggung jawab discretionary perusahaan mengacu pada harapan masyarakat bahwa organisasi menjadi warga negara yang baik. Ini mungkin melibatkan hal-hal seperti dukungan filantropi dari program manfaat sebuah komunitas atau bangsa. Hal ini juga dapat melibatkan menyumbangkan keahlian karyawan dan waktu untuk tujuan mulia.

SEJARAH

Sifat dan lingkup tanggung jawab sosial perusahaan telah berubah dari waktu ke waktu. Konsep CSR adalah relatif baru satu kalimat hanya telah digunakan secara luas sejak tahun 1960. Tapi, sementara, ekonomi harapan hukum, etika, dan discretionary ditempatkan pada organisasi mungkin berbeda, itu mungkin akurat untuk mengatakan bahwa semua masyarakat pada semua titik dalam waktu memiliki beberapa derajat harapan bahwa organisasi akan bertindak secara bertanggung jawab, menurut definisi tertentu.

Pada abad kedelapan belas besar ekonom dan filsuf Adam Smith menyatakan model ekonomi tradisional atau klasik bisnis. Pada dasarnya, model ini menyarankan bahwa kebutuhan dan keinginan masyarakat terbaik dapat dipenuhi oleh interaksi tak terkekang individu dan organisasi di pasar. Dengan bertindak secara egoistik, individu akan menghasilkan dan menyampaikan barang dan jasa yang akan mendapatkan mereka keuntungan, tetapi juga memenuhi kebutuhan orang lain. Sudut pandang diungkapkan oleh Adam Smith lebih dari 200 tahun yang lalu masih membentuk dasar bagi ekonomi pasar bebas di abad kedua puluh satu. Namun, bahkan Smith mengakui bahwa pasar bebas tidak selalu tampil sempurna dan ia menyatakan bahwa peserta harus bertindak jujur ​​pasar dan adil terhadap satu sama lain jika cita-cita pasar bebas harus dicapai.

Pada abad setelah Adam Smith, Revolusi Industri menyumbang perubahan radikal, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Banyak dari prinsip-prinsip yang didukung oleh Smith ditanggung keluar sebagai pengenalan teknologi baru memungkinkan untuk produksi yang lebih efisien barang dan jasa. Jutaan orang yang diperoleh pekerjaan yang dibayar lebih dari mereka pernah dibuat sebelumnya dan standar hidup sangat meningkat. Organisasi-organisasi besar dikembangkan dan diperoleh kekuatan besar, dan pendiri dan pemilik mereka menjadi beberapa pria terkaya dan paling kuat di dunia. Pada akhir abad kesembilan belas banyak dari orang-orang percaya dan mempraktikkan filosofi yang kemudian disebut "Darwinisme Sosial", yang, dalam bentuk yang sederhana, adalah gagasan bahwa prinsip-prinsip seleksi alam dan survival of the fittest berlaku untuk bisnis dan sosial kebijakan. Jenis kejam filsafat dibenarkan, bahkan brutal, strategi kompetitif dan tidak memungkinkan untuk banyak keprihatinan tentang dampak perusahaan sukses pada karyawan, masyarakat, atau masyarakat yang lebih luas. Jadi, meskipun banyak dari para taipan besar dari abad kesembilan belas di antara para filantropis terbesar sepanjang masa, memberikan mereka dilakukan sebagai individu, bukan sebagai wakil dari perusahaan mereka. Memang, pada saat yang sama bahwa banyak dari mereka yang memberikan jutaan dolar dari uang mereka sendiri, perusahaan yang membuat mereka kaya sedang berlatih metode bisnis yang, menurut standar sekarang setidaknya, adalah eksploitatif pekerja.

Sekitar awal abad kedua puluh reaksi terhadap perusahaan-perusahaan besar mulai mendapatkan momentum. Bisnis besar dikritik sebagai terlalu kuat dan untuk berlatih praktik antisosial dan anti persaingan. Hukum dan peraturan, seperti Sherman Antitrust Act, diberlakukan untuk mengendalikan perusahaan-perusahaan besar dan untuk melindungi karyawan, konsumen, dan masyarakat pada umumnya. Gerakan terkait, kadang-kadang disebut "injil sosial", menganjurkan perhatian yang lebih besar untuk kelas pekerja dan kaum miskin. Gerakan buruh juga menyerukan respon sosial yang lebih besar pada bagian dari bisnis. Antara 1900 dan 1960 dunia bisnis secara bertahap mulai menerima tanggung jawab tambahan selain menghasilkan laba dan menaati hukum.

Pada 1960-an dan 1970-an gerakan hak-hak sipil, konsumerisme, dan environmentalisme mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap bisnis. Berdasarkan gagasan umum bahwa orang-orang dengan kekuatan besar memiliki tanggung jawab yang besar, banyak disebut untuk dunia bisnis untuk lebih proaktif dalam (1) berhenti menimbulkan masalah sosial dan (2) mulai berpartisipasi dalam memecahkan masalah sosial. Banyak mandat hukum ditempatkan pada usaha yang terkait dengan kesempatan kerja yang sama, keamanan produk, keselamatan pekerja, dan lingkungan. Selanjutnya, masyarakat mulai berharap bisnis untuk secara sukarela berpartisipasi dalam memecahkan masalah sosial apakah mereka telah menyebabkan masalah atau tidak. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan harus melampaui tanggung jawab mereka ekonomi dan hukum dan menerima tanggung jawab yang terkait dengan perbaikan masyarakat. Pandangan tanggung jawab sosial perusahaan adalah pandangan yang berlaku di banyak dunia saat ini.

Bagian berikut memberikan rincian tambahan terkait dengan membangun tanggung jawab sosial perusahaan. Pertama, argumen untuk dan terhadap konsep CSR terakhir. Kemudian, konsep pemangku kepentingan, yang merupakan pusat untuk membangun CSR, dibahas. Akhirnya, beberapa isu-isu sosial utama yang organisasi harus berurusan ditinjau.

UNTUK ARGUMEN DAN MELAWAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Argumen utama untuk dan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan yang ditunjukkan dalam Lampiran 1. The "ekonomi" argumen terhadap CSR yang mungkin paling erat terkait dengan ekonom Milton Friedman Amerika, yang berpendapat bahwa tanggung jawab utama bisnis adalah untuk membuat keuntungan bagi pemiliknya, meskipun sementara sesuai dengan hukum. Menurut pandangan ini, diri-tindakan yang tertarik jutaan peserta dalam pasar bebas akan, dari perspektif utilitarian, menyebabkan hasil yang positif bagi masyarakat. Jika operasi pasar bebas tidak dapat memecahkan masalah sosial, itu menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan bisnis, untuk mengatasi masalah ini.

Apa yang dimaksud dengan CSR?

APA ITU CSR? PENGERTIAN CSR Corporate Social Responsibilty

Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.

Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?

CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.

Etika bisnis di Negara Singapura

Etika Bisnis di Singapura
10 Maret 2010


Profesor Bob Fleming dari NUS Business School, berkolaborasi dengan Singapura Compact untuk Corporate Social Responsibility (CSR) dan Federasi Bisnis Singapura, untuk mempelajari praktek etika bisnis antara perusahaan Singapura.

Ini berfungsi sebagai titik awal untuk wawasan ke dalam perilaku etis dari perusahaan Singapura dan menyediakan pemandangan tentang kinerja Singapura dalam hal ini. Penelitian ini membantu dalam memahami apa Kode Etik berada di tempat dan bagaimana perusahaan menerapkan kebijakan seperti di hari-hari operasi mereka.

Mengingat krisis keuangan global, menetapkan dan menaati Kode Etik telah menjadi lebih penting bagi tata kelola perusahaan.

Sebuah survei elektronik dilakukan untuk perusahaan-perusahaan anggota dari Federasi Bisnis Singapura pada bulan Januari / Februari 2009. Pembersihan data dan analisis, dan penulisan laporan diselesaikan pada Januari 2010.

Survei ini meliputi isu-isu di luar kepatuhan dasar dengan akuntansi manajerial peraturan dan peraturan perencanaan keuangan. Menggambar pada pedoman dalam Kode Standar Global Business, perusahaan ditanya tentang driver dari Kode Etik mereka seperti menjaga janji, perjanjian, kontrak, menghormati martabat semua orang (internal dan eksternal); bertindak sebagai anggota masyarakat yang bertanggung jawab , dan bereaksi terhadap klaim yang sah dan keprihatinan orang lain.

Survei juga meneliti interaksi, pengaruh dan dampak perusahaan pada pemasok, saluran mitra dan pelanggan.

Beberapa 100 perusahaan dari 20 sektor industri yang berbeda menanggapi survei. Yang penting, perusahaan-perusahaan tersebut mewakili bisnis Singapura dalam hal berbagai sektor industri.

Temuan-temuan Utama

Apa yang Penting
• Selain kepatuhan hukum keuangan dan diresepkan, 65% dari perusahaan merasa bahwa menjaga perjanjian dan bersikap terbuka dan jujur ​​dalam bisnis adalah yang paling penting.

Kehadiran Kode Etik
• Lebih dari 6 di 10 perusahaan (62%) memiliki Kode Etik yang diterbitkan, sedangkan 12% berada dalam proses pembentukan satu.
• Dari mereka dengan kode mapan, 80% telah beradaptasi elemen inti global-diterapkan untuk memungkinkan pengaruh budaya lokal.
• Di antara mereka dengan kode tidak, 66% menunjukkan bahwa ada Focal Point Organisasi. Ini berarti bahwa ada setidaknya karyawan senior atau departemen di perusahaan yang menangani Kode Etik hal-hal seperti, dengan 92% memungkinkan akses rahasia untuk mengangkat isu-isu etis. Jika tidak, manajemen senior mengambil kepemimpinan untuk menyelesaikan hal tersebut.

Pelaksanaan Kode Etik
• Hampir 9 dari 10 (86%) dari perusahaan memiliki Kode Etik yang diarahkan mencegah pelanggaran kode, daripada menyelesaikan saat pelanggaran tersebut terjadi.
• Perusahaan menggunakan kedua penghargaan dan tindakan konsekuensial untuk mengatur nada untuk perilaku etis, dengan yang terakhir ini lebih sering digunakan (76% versus 17%).

Audit untuk Kode Perilaku
• Setengah dari perusahaan memiliki program audit untuk memeriksa kinerja.
• Dari jumlah tersebut, 40% secara acak dijadwalkan.

Karyawan dan Pelanggaran Kode
• Lebih dari setengah (56%) kepatuhan digunakan dengan Kode Etik sebagai bagian dari Key Performance Indicator ketika mengevaluasi karyawan.
• Lebih dari dua-pertiga perusahaan (68%) memiliki proses formal untuk menangani pelanggaran Kode Etik. Hal ini penting bahwa ketika pelanggaran terjadi, mereka tidak diabaikan dan tindakan langsung diambil.
• Hampir 6 dari 10 perusahaan (59%) memiliki prosedur untuk melindungi karyawan yang melaporkan pelanggaran Kode Etik. Memungkinkan karyawan untuk melaporkan pelanggaran kinerja tanpa dampak negatif sangat penting untuk keterbukaan dan transparansi.


Pemasok, Mitra Channel, Pelanggan dan Kode Etik
• Hanya di bawah 60% dari perusahaan memerlukan pemasok mereka untuk mematuhi Kode Etik.
• Jika ada masalah ketidakpatuhan oleh pemasok, 62% dari perusahaan akan mengambil tindakan pada mereka.
• Lebih dari 60% dan 70% perusahaan percaya bahwa kepatuhan dengan Kode Etik akan membantu mempertahankan karyawan dan pelanggan masing-masing.

Kepatuhan terhadap Kode Etik dan Keunggulan Kompetitif
• Sekitar 65% dari perusahaan setuju bahwa kepatuhan terhadap Kode Etik memberikan keunggulan kompetitif. Hanya 12% tidak setuju sementara 23% adalah netral.

Hasil survei menunjukkan bahwa Singapura memiliki etika lingkungan bisnis yang sehat di mana untuk melakukan bisnis. Ini akan menempatkan perusahaan-perusahaan berbasis di Singapura dalam posisi menguntungkan sebagai mitra bisnis pilihan.

Menurut Bapak Thomas Thomas, Direktur Eksekutif Singapura Compact CSR, "Untuk membangun kesadaran lebih lanjut, Singapura Compact percaya bahwa penguatan perilaku etika telah menjadi unsur penting dalam tanggung jawab sosial perusahaan. Etika harus diambil sebagai nilai inti. Memproduksi Kode Etik merupakan bagian penting dari pelatihan etika karena menunjukkan karyawan apa dan apa yang tidak perilaku yang dapat diterima. Agar efektif dalam etika, perusahaan akan harus bekerja dengan masing-masing pemangku kepentingan lain dan lainnya, termasuk pemerintah, serikat buruh dan masyarakat sipil untuk berdiri melawan korupsi. "

"Hasil ini juga akan berfungsi sebagai dasar untuk survei lain bahwa saya berencana untuk akhir tahun ini. Selain mengumpulkan data pada item yang sama untuk perbandingan, survei baru juga akan mencari partisipasi lebih perusahaan sehingga analisis lintas-industri sektor dapat dibuat untuk melihat apakah Kode Etik bervariasi, "kata Profesor Bob Fleming.

~ Akhir ~

Temuan lebih lanjut rinci dalam tabel terlampir untuk referensi Anda.

Silahkan hubungi Bob Fleming di bob.fleming @ 1to1asia.com / (65) 9833 9286 atau Ms Lee Ling Ling (Hubungan Korporasi & Komunikasi) di leelingling@nus.edu.sg / (65) 6601 1206 untuk informasi lebih lanjut atau klarifikasi.


TENTANG PENELITI YANG
Bob Fleming Adjunct Associate Professor di Departemen Pemasaran, NUS Business School. Ia mengajar program MBA di Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan juga mengkhususkan diri dalam Customer Relationship Management, dan Manajemen Perubahan.


TENTANG SEKOLAH BISNIS NUS
Didirikan pada tahun 1965, National University of Singapore (NUS) Business School dikenal untuk fokus dalam menyediakan manajemen berpikir kepemimpinan dari perspektif Asia, memungkinkan siswa kami dan mitra perusahaan untuk memanfaatkan pengetahuan dan wawasan global terbaik Asia yang mendalam untuk mendorong pendidikan bisnis dan pertumbuhan di Asia dan di seluruh dunia. Kombinasi pengetahuan global dan wawasan Asia tercermin dalam semua aspek dari perusahaan riset, pengajaran dan industri penjangkauan. Sebagai Sekolah Bisnis Global Asia, NUS Business School adalah otoritas terkemuka pada bisnis di Asia.

Sekolah telah konsisten menerima peringkat atas di wilayah Asia-Pasifik oleh publikasi independen dan lembaga, seperti The Financial Times, Economist Intelligence Unit, dan Top QS MBA, sebagai pengakuan atas kualitas program, penelitian fakultas dan lulusan. Pada tahun 2009 peringkat, The Financial Times peringkat NUS Business School Asia Pasifik program MBA Eksekutif 11 di dunia, peringkat tertinggi yang pernah dicapai oleh sekolah bisnis di Singapura sampai saat itu. Hal ini juga peringkat NUS MBA ke-35 di dunia pada 2008. Pada tahun 2009, sekolah bisnis global QS 200 2009: Pilihan Survei Pengusaha 'dinilai NUS Business School lulusan ketiga di Asia Pasifik. Penelitian Sekolah adalah peringkat ke-47 di dunia oleh University of Texas, Dallas. Sekolah ini diakreditasi oleh AACSB International (Asosiasi untuk Advance Collegiate Schools of Business), suatu dukungan bahwa Sekolah telah memenuhi standar tertinggi untuk pendidikan bisnis.

Sekolah ini memiliki lebih dari 110 fakultas penelitian atas, lebih dari 2.500 siswa BBA, MBA, Executive MBA, dan PhD; lebih dari 2.000 peserta program tahunan di Pendidikan Eksekutif, dan lebih dari 45.000 alumni di berbagai organisasi dan posisi kepemimpinan di seluruh dunia.


SINGAPURA TENTANG COMPACT
Compact Singapura untuk CSR adalah masyarakat nasional berkomitmen untuk membawa maju gerakan CSR. Ini berfungsi sebagai multi-stakeholder platform dalam mengakui peran dan kontribusi semua pemangku kepentingan CSR. Misi utama adalah untuk memperluas basis untuk kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, dalam mengembangkan strategi terkoordinasi dan efektif untuk mempromosikan CSR di Singapura. Hal ini juga peserta dan titik fokus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Global Compact. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.csrsingapore.org.


SINGAPURA TENTANG BISNIS FEDERASI
Sebagai ruang bisnis apeks, Singapore Federasi Bisnis (SBF) juara kepentingan komunitas bisnis di Singapura, dalam perdagangan, hubungan investasi dan industri. Secara nasional, SBF bertindak sebagai jembatan antara pemerintah dan bisnis di Singapura untuk menciptakan lingkungan usaha yang kondusif. Internasional, SBF mewakili komunitas bisnis di bilateral, regional dan multilateral untuk untuk tujuan ekspansi perdagangan dan jaringan bisnis. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi website kami: www.sbf.org.sg.

teori-teori etika bisnis

TEORI – TEORI ETIKA BISNIS
. Etika Teleologi
dari kata Yunani, telos = tujuan,
Mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Dua aliran etika teleologi :
- Egoisme Etis
- Utilitarianisme

* Egoisme Etis

Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri.
Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya.
Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.

* Utilitarianisme

berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
Utilitarianisme , teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis
Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua macam :
a. Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism)
b. Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)
Prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterpakan pada perbuatan.
Utilitarianisme aturan membatasi diri pada justifikasi aturan-aturan moral.

. Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban.
‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’.
Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban.
Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.

pengertian etika bisnis

I. PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG

Pada kondisi saat ini, setiap pelaku bisnis jelas akan semakin berpacu dengan
waktu serta negara-negara lainnya, agar terwujudnya suatu tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Tentunya semua perusahaan harus sudah mengacu kepada implementasi GCG yang sudah bisa ditawar-tawar lagi, sehingga dapat dikatakan bahwa bisa atau tidak bisa yang pada akhirnya tetap berusaha dan bukan merupakan suatu kebutuhan. Selain itu, memang belum adanya sangsi yang tegas dari pihak regulaor dalam hal ini pemerintah yaitu jika bagi perusahaan yang tidak menerapkan GCG. Dibeberapa negara maju, GCG saat ini sudah dianggap sebagai
sauatu asset perusahaan yang sangat bermanfaat, misalnya GCG akan dapat meningkatkan nilai tambah bagi pemenang saham dan mempermudah akses ke pasar domestik maupun ke luar negeri (global) serta tidak kalah pentingnya dapat membawah citra perusahaan yang positif dari masyarakat

I.2. PENJELASAN TENTANG ETIKA BISNIS.
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil , sesuai dengan hukum yang berlaku tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis dibagi dalam:

(1).Descriptive ethics :is concerned with describing, characterizing and studying
the morally of a people, a culture, or a society. It also compares ancontracts
different moral codes, systems, practices, beliefs, and value ( A. Buchhholtz and
B.Rosenthal, 1998)

(2). Normative ethics: concerned with supplying and justifying a coherent moral
system ofthinking and judging. Normative etuncov develop,and basic principles
that are intended to guide behavior, actions, and decisions.(R.DeGeorge, 2002)
Menurut Caroll dan Buchholtz “ ethics is the discipline that deals with what
is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be
regarded as aset of moral principles or values. Morality is a doctrine system
of moral conduct .Moral conduct refer to that which relates to principles of
right and wrong behavior that takes place within a business context . Business
ethics, therefore is concerned with good and bad or right an d wrong behavior
that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are
increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle
questions of fairness, justice, and equity. Ethics is a philosophical term
derived from the Greek word “ethos” meaning character or custom. This definition
is germane to effective leadership in organization in that it connote
organization

I.3. PENJELASAN TENTANG MEMBANGUN ’’ BUILT TO BLESS’ COMPANY.
Ingin diberkati adalah keinginan yang wajar, ingin menjadi berkat bagi orang lain adalah keingginan yang mulia. Menurut Peter Straub, kadang-kadang…. apayang harus engkau kerjakan adalah kembali ke awal dan melihat segalanya dalam sebuah cara pandang yang baru. Jim Collin (2001), implementasi konsep membuat perusahaan menjadi perusahaan yang Good to Great. Dimana kriteria perusahaan agar bisa dipilih sebagai perusahaan yang Good to Great adalah seperti berikut :

(1). Perusahaan menunjukkan pola kinerja baik yang ditemukan titik transisi menuju ke kinerja hebat. Kinerja hebat di definisikan sebagai kumunikasi total hasil saham paling sedikit 3 kali dari pencapaian pasar secara umum, mulai dari titik transisi (T) dalam 15 tahun kemudia Sedangkan kinerja baik hanya menghasilkan 1.25 kali dari pencapaian pasar secara umum selama 15 tahun sebelum titik transisi (T-15). Rasio antara kumulatif hasil saham padaT+15dan T-15 harus lebih dari 3.

(2). Pola kerja kinerja Good to Great harus merupakan upaya pergeseran perusahaan (company ) itu sendiri bukan karena kecenderungan industri (industry event). Dengan kata lain,perusahaan harus menunjukkan pola tidak hanya relatif terhadap pasar, tetapi juga terhadap industrinya.
(3).Perusahaan adalah perushaan yang sudah cukup lama beroperasi setidaknya 25 tahun
sebelum titik transisi, dan merupakan perusahaan terbuka setidaknya dalam 10 tahun.
(4). Titik transisi sudah terjadi pada tahun 1985, dan tahun 2000 adalah tahun
analisis.
(5) Perusahaan sudah masuk dalam daftar peringkat FORTUNE 500 pada tahun 1995 yang
diterbitkan tahun 1996.
(6) Perusahaan masih menunjukkan kecenderungan naik dengan kemiringan hasil saham
kumulatif relatif terhadap pasar pada titik awal transisi harus sama lebih
baik dari 3/1 yang dipersyaratkan untuk memenuhi kriteria 1 pada fase T+15. Ini
berlaku untuk T+15 yang jatuh sebelum tahun 1996. Dari keenam kriteria tersebut
tadi masih dilakukan seleksi dalam 4 tahap yaitu: Tahap pertama menghasilkan
1.435 perusahaan dari seluruh FORTUNE 500(1965-1995) Tahap kedua tersaring 126
perusahaan Tahap ketiga menjaring 19 perusahaaan yang tersisa, dan Tahap keempat
menghasilkan 11 perusahaan yang berkriteria Good to Great ”the man behind the
gun”. Bila pimpinan puncak tidak memiliki unsur BMF, maka perusahaan itu tidak
mungkin menjadi perusahaan yang berlandaskan spriritual (spiritual company).




Contoh Kasus Sebagai Pelaku Bisnis

Pada tahun 1990 an, kasus yang masih mudah diingat yaitu Enron. Bahwa Enron adalah perusahaan yang sangat bagus dan pada saat itu perusahaan dapat menikmati booming industri energi dan saat itulah Enron sukses memasok enegrgi ke pangsa pasar yang bergitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Dan data yang ada dari skilus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring dengan booming indutri energi, akhirnya memosisikan dirinya sebagai energy merchants dan bahkan Enron disebut sebagai ”spark spead” Cerita pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada dipasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya Enron meninggalkan prestasi dan reputasinya baik tersebut, karena melakukan penipuan dan penyesatan.. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian kolaps pada tahun 2001.

I.5. TUJUAN PEMBAHASAN.
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk :
1. Penerapakan peranan etika bisinis dalam implementasi sebagai good corporat
governance
2. Penerapakan membangun “built to bless” dalam implementasi sebagai good corporate
governance



II. PEMBAHASAN

Berbisnis dengan etika dan atau etika berbisnis, sebenarnya keberadaan etika
bisnis tidak hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sederhana atau ”remeh” atau, “ Bisakah kita melakukan etika berbisnis/ tidak melanggar hukum untuk meningkatkan kinerja divisi kita ?” jawabannya “pasti bisa” Jurnal Business and Society Review (1999), menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali dari pada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University (1997), menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasarkan penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsato, Imperial Chemical Industires, Deutsche Bank, Electolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendobrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi.

II.1. PERANAN ETIKA BISNIS DALAM PENERAPAN GCG
(1). Nilai Etika Perusahaan ( Company Ethics Value)
Kepatuhan pada kode etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan dan para pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham. Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerja sama. Sebagai contoh yang sering kita ketahui yaitu kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan dan pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan bentuan kepentingan.

(2). Code of Corporate and Business Conduct
Kode etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (code of corporate and business conduct) merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan prakter-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dialakukan atas nama peusahaan. Dengan tujuan agar prinsip etika bisnis menjadi budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan dan para pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan mana yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas kode etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hokum.

Contoh :
Di Indonesia dengan Topik : The Challenges of Legal Profession in The Corrupt Society (Gayus Lumbuun, 2008), yang memaparkan (1) penegakan hokum pembrantas korupsi, (2) substansi/norma hukum kebijakan pemberantas KKN, (3)kelembagaan/ struktur hukum pemberantas KKN, (4) budaya hukum (legal culture dalam kebijakan pemberantas KKN. Dari keempat unsur hukum tersebut, maka unsure ketiga dari sistem hukum yang sangat berpengaruh dalam implementasi UU tentang tindak pidana korupsi adalah masalah budaya hukum yang terkait dengan pemberantas KKN. Budaya hukum disini dapat dikelompokkan kedalam 2 hal yaitu:
budaya yang menyimpang dan buadya sebagai karekter entitas. Budaya hukum yang menyimpang inilah yang sebenarnya masih dapat diperbaiki. Bebarapa bagian penting yang terkait dengan budaya hukum ini adalah mengenai sebab-sebab dan pelaku korupsi, serta dukungan masyarakat dalam pemberantas KKN, dan strategi umum yang dapat dilakukan dalam pemberantas KKN.

II.2. MEMBANGUN ETIKA BISNIS DAN BISNIS YANG BERETIKA
Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang
berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
(1). Pengendalian diri./ kejujuran.
(2). Social Responsibility
(3). Memiliki prinsip / mempertahankan jati diri.
(4). Menciptakan persaingan yang sehat.
(5). Menerapkan konsep yang berksinambungan.




II.3. MEMBANGUN “ BUILT TO BLESS”DALAM PENERAPAN GCG.

(1). Moralitas Kerja dalam Bentuk Etika Bisnis dan Etika Kerja
Moralitas ini merupakan landasan berbisnis dengan etika yang baik. Etika bisnis dan etika kerja adalah dua hal utama yang terus dipertahankan sebagai cara kerja dalam mencapai tujuannya. Keduanya merupakan standar yang diyakini tentang baik buruk dalam pengelolaan usaha (a defined standard of right or wrong what some one often said). Bukan hanya memiliki dokumen yang tertulis di kertas tapi terpatri dalam hati. Seluruh jajaran mengahayati dan mengamalkan karena karena percaya bukan paksaan atau bagian dari deskripsi pekerjaan dan proses. Moralitas yang setidaknya mencakup pedoman etika bisnis dan etika kerja ini secara tertulis dijabarkan dan dikomunikasikan secara terus menerus. Pimpinan perusahaan menjadi pemegang kunci pelaksanaan yang senantiasa dilihat oleh seluruh pekerja. Dalam keadaan krisis tidak terbatas pada target penjualan dan yang tidak tercapao, tetapi bahkan sampai keberadaan bisnis sekalipun, pimpinan dan organisasi yang memiliki kinerja emosional dan etikal yang tinggi akan terus berupaya mempertahankannya tanpa kompromi. Etika bisnis mencakup bagaimana menata hubungan yang etis perusahaan dan seluruh pemangku kepentingan seperti hubungan perusahaan dan seluruh pemasok, pelanggan, karyawan, masyarakat sekitar, lingkungan, dan pemerintah. Sedangkan etika kerja mengatur hubungan antara pekerja dan sesama pekerja, pekerja dengan atasan, pekerja dengan pimpinan perusahaan, perusahaan dengan pemangku kepentingan lainnya. Nilai pekerja harus dihayati dan dipratikkan dan pekerjaan sehari-hari. Bukan hanya sekadar menyelesaikan pekerjaan juga cara melakukan pekerjaan (how to do not only what to do). Bebarapa perusahaan yang mendapat penghargaan sebagai perusahaan yang beretika bisnis tinggi dalam 16th Annual Business Ecthic Awards 2004 adalah sebagai berikut:
a.Gap Inc, mendapat Social reporting Award. Gap melporkan kinerja dan ketaatan 3.000 pabrik pemsok di 50 negara terhdap aturan yang tela ditetapkan.
b.Chroma Technology Corp. Meraih Living Economy Award, perusahaan yang menerapkan konsep kepemilikan karyawan, kebijakan upah yang pantas.
c.Dell Inc, memperoleh Environmental Progress Award, menawarkan jasalayanan gratis untuk mendaur ulang komputer yang eprnah dipakai perusahaan pada setiap pembelian komputer baru.
d.Cliff Car Inc, menyabet General Excellence Award atas komitmennya dan konsisten terhadap pelestarian lingkungan.
e.King Arthur Flour, mencapai Social Legacy Award, kerena menyerahkan kepemilikan saham perusahaan 100 persen.

(2). Kinerja Spiritual melahirkan perusahaan yang Built to Bless
Dalam hasil pengamatan saya selanjutnya, kedua kinerja tersebut belumkah seluruhnya mencerminkan kesuksesan menyeluruh dalam perusahaan. Ada factor ketiga yang patut menjadi bahan renungan setiap pimpinan dan pemegang saham yakni Kinerja Spiritual. Ini selaras dengan kecerdasan manusia yang memiliki tiga cakupan yakni Intelektual, Emosional, dan Spriritual. Kecerdasan Spiritual yang dimiliki pimpinan dan manusia ada dalam perusahaan akan menjadi peusahaan untuk memiliki Kinerja Spiritual.terjadi, maka akan ada padanan yang serasi antara manusia sebagai subjek dan organisasi sebagai ranah subjek. Salah satu aspek yang sangat penting dalam membawa perusahaan menjadi perusahaan BERKAT (A Built to Bless-Blessing Company) adalah memperdalam dan memperindah (depth and beauty) landasan berbisnis yang berada di atas etika dan moral standar yakni unsur spiritualitas yang bersumber pada tata nilai keimanan yang disebut keyakinan (belief). Etika dan moral hanya berlandasan pengertian baik-buruk dan benar-salah dengan penerapan Good Corporate Governance (GCG). Perusahaan yang Built to Bless, sudah menyentuh aspek yang saya sebut sebagai sisi spiritual yang bersumber kepada Tuhan (God) yang akhirnya menelurkan prinsip baru yang banyak dikenal sebagai God Corporate Governance (GODCG). Oleh karena itu, landasan dari moral, etika, falsafah perusahaan yang akan langgeng karena memiliki sifat transendensi harus berakar pada landasan spiritual sebagai sumber segala kebijakan. Saya yakin, semua Kitab Suci dari semua agama mengajarkan landasan spiritual yang jauh lebih dalam dari landasan mental dan moral. Untuk pedoman berperilaku khususnya dalam dunia bisnis, tidak ada dogmatika yang sangat berbeda.



III. KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN.

1.Etika bisnis memegang peranan sangat penting dalam rangka implemetasi GCG. Sedangkan Code of Corporate and Business Conduct merupakan pedoman bagi seluruh karyawan dan para pimpinan perusahaan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari Dan agar mudah disosialisakan kemua karyawan tanpa memandang level jabatan, maka dibuatkan beberapa sepanduk (slogan) dipasanga di tempattempat strategis dilingkungan perusahaan.
2.Gerakan moral : bersih, transparan dan profesional mengandung mengandung nilai moral dan prinsip-prinsip dasar dari GCG yang bersifat universal.
3.Implementasi GCG di perusahaan, harus dijunjung tinggi, karena kemajuanperusahaan, kepercayaan pelanggan, dan profit yang terus meningkat, pangsa pasar terus meluas, merupakan cita-cita bagi setiap perusahaan.
4.Diperlukan integrasi moral yang tinggi dari para Aparat penegak hukum yangmenangani perkara korupsi dan jangan memberikan contoh yang kurang baik,jangan membuat masyarakat tidak lagi percaya terhadap Aparat Penegak Hukum ( Undang-undang No. 20 tahun 2001) tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi.
5.Gunakan kriteria bagi perusahaan Built to bless yaitu ada Lima Fase PerubahanPerusahaan dengan Kinerja Spiritual yang tinggi : fase “ BURUK (Bad) MAPAN (Establishes)”, HEBAT (Good to Great)”, “ LANGGENG ( Built to Last) dan BERKAT (Built to Bless = BLESSING)










































Kasus Pelanggaran Etika Bisnis yang Tidak Disadari

Kegiatan Bisnis Berhubungan dengan Orang Lain
Tanpa disadari, kasus pelanggaran etika bisnismerupakan kasus yang dianggap wajar pada masa kini. Mungkin, kita tidak sadar bahwa hampir semua kegiatan bisnis melanggar etika. Contohnya, bila kita melihat iklan produk di televisi. Antara produk satu dengan yang lain saling menjelek-jelekkan dan mengatakan bahwa produk merekalah yang paling bagus. Kadang, kita juga menjumpai beberapa iklan yang menyindir produk lain.
Kegiatan bisnis seharusnya disertai etika yang bagus. Mengapa? Tentu saja karena bisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan orang lain, supplier, distributor, dan pelanggan atau konsumen. Bisnis sama seperti bergaul dengan masyarakat luas yang harus memiliki etika. Ketika bergaul dengan masyarakat, bolehkah kita menyinggung perasaan mereka? Bolehkah kita menjelek-jelekkan tetangga di depan orang lain? Jawabannya, tentu saja tidak. Tak pantas bagi kita untuk melanggar etika dalam masyarakat yang tidak tertulis tersebut.
Sama halnya dengan berbisnis, etika bisnis merupakan hal yang wajib dimiliki dan dilakukan bila kita ingin menjadi seorang pebisnis baik. Tak ada istilah “menghalalkan segala cara” untuk mencapai apa yang diinginkan. Sayangnya, hal-hal tersebut rupanya sudah tidak dimiliki lagi oleh banyak pebisnis.
Banyaknya pesaing membuat mereka melakukan cara-cara yang dianggap tidak beretika, misalnya menjelek-jelekkan produk pesaing dengan gamblang, menyindir dan menghina pesaing dalam iklan meski dengan bahasa halus, mendatangi dukun untuk menjatuhkan rival (biasanya hal ini dilakukan oleh pebisnis yang masih mempercayai hal-hal bersifat klenik), pasang susuk untuk melariskan dagangannya, menjual “cewek cantik” agar pelanggan tertarik untuk membeli, dan trik-trik bisnis lain.
Bersaing Secara Sehat
Beberapa alasan yang membuat para pebisnis melakukan tindakan-tindakan tidak benar, di antaranya sebagai berikut.
1. Banyaknya kompetitor dengan wajah baru yang lebih “segar”.
2. Ingin menambah pangsa pasar.
3. Ingin merajai pasar.
Di antara ketiga faktor tersebut, yang memiliki pengaruh paling kuat adalah faktor pertama. Sama halnya ketika seorang wanita menjelek-jelekkan wanita lain di hadapan orang tertentu. Apa tujuannya? Sebenarnya, wanita yang menjelek-jelekkan tersebut merasa iri dan kalah bersaing dengan wanita yang dijelek-jelekkan atau dia merasa bahwa wanita yang dijelek-jelekkan tersebut merupakan saingan berat. Untuk merusak namanya, dilakukan tindakan jahat tersebut.
Sama halnya dengan berbisnis, setiap hari, banyak sekali pendatang baru yang muncul dengan membawa beragam inovasi dan produk unik. Untuk mempertahankan agar produk perusahaan tetap menjadi yang utama, dibuatlah iklan-iklan berupa sindiran terhadap produk lain sejenis. Sindiran bisa berupa sindiran halus maupun kasar. Akibatnya, konsumen cenderung bingung dan malah mencibir, “Kok, seperti ini?”
Tentu kita kenal dengan istilah, “Bersainglah secara sehat!” Ya. Begitupun, dalam berbisnis. Bersainglah secara sehat tanpa harus menjelek-jelekkan pebisnis lain. Sesuatu yang baik harus diawali dengan hal yang baik pun.